Hujan tak lagi berarti,
mendung tak lagi kutunggu. Setiap kali datang hujan disenja hari, aku hanya
bisa tersendu sedih mengingat semuanya, mengingat sebuah kenangan yang tidak
pernah aku lupakan. Sekarang, aku hanya bisa terdiam menunggu kapan maut akan
menjemputku, kapan malaikat pencabut nyawa menemuiku, dan kapan waktu ku akan
berhenti. Aku menyembunyikan rahasia besar dari sahabat-sahabatku, hanya
orang tuaku yang tahu kenapa sekarang aku berada di ruangan yang akrab sekali
dengan bau obat. Sudah hampir seminggu aku dirawat di sini, aku terkena penyakit
Kanker Getah Bening stadium 4. Hujan
di luar semakin deras bersamaan dengan air mata yang terus mengairi kusamnya raut
wajahku. Aku tidak percaya dengan takdir Tuhan ini. Semuda inikah aku harus
merasakan semuanya? Aku kehilangan motivasi untuk hidup, aku kehilangan semuanya,
cita-cita yang sejak dulu aku idamkan, sekarang hanyalah menjadi mimipi yang
tiada arti. Entah lah, aku tutup petualangan hidup ini dengan melanjutkan ke
alam mimpi.
Suara takbir
membangunkanku, aku tidak tahu jam berapa sekarang, tetapi yang jelas, suara
takbir itu bersumber dari kedua orang tuaku yang sedang salat di sudut ruangan
ini. Lagi-lagi aku tidak kuasa menahan bendungan air mata melihat orang tuaku.
Ya tuhan, kenapa aku tidak mati saja, agar orang tuaku bisa nyaman di rumah,
tidak perlu menungguku di ruangan yang pengat ini. Aku tidak mau merepotkan dia,
aku tidak mau membuat meraka khawatir dengan ketidak pastian antara hidup dan
matiku.
Aku berusaha mengingat
semua hal tentang sahabatku, terutama Widi, dia sahabatku yang paling dekat,
jujur aku sangat suka dan sayang sama dia. Namun, sampai saat ini aku belum
bisa mengungkapkannya atau tidak akan pernah bisa mengungkapkannya. Ingatanku
masih menyimpan beribu kenangan bersama Widi. Seminggu yang lalu aku dan Widi
masih bercanda tawa berbagi senyuman di Gerbang Sekolah. Yah, di Sekolah lah
yang selalu menjadi latar pertemuanku dengan Widi.
“Cie yang beberapa bulan lagi akan hengkang dari Sekolah,” ucap Widi sedih
“Iyah. Tapi, aku ingin masih lama di Sekolah ini”
jawabku sambil menatapnya
“kenapa?” tanya Widi
“Em, aku ingin bisa melihat kamu terus,” jawaku
sambil tertawa
“Euh, dasar” tindas Widi sambil tertawa lepas
Aku tenggelam dalam
gemerlap asmara cinta yang mungkin hanya akan jadi mimpi belaka. Aku sudah
berjanji kepada diriku sendiri, aku tidak akan mengungkapkan perasaan yang
sebenarnya kepada Widi sebelum aku sembuh total. Memang, dia tidak tahu tentang
penyakit yang siap siaga kapan saja membunuhku. Namun, hal itulah yang
membuatku takut, takut dia sedih atau malah pergi menjauh bila tahu bahwa aku
lelaki yang penyakitan.
“Yan. Kamu sudah bangun yah,?” sahut ibu menyadarkanku
dari lamunan
“Iyah bu, tadi dengar suara mengucapkan takbir,
jadinya aku terbangun” jawabku sambil berusaha menghadapkan wajah pada ibuku
“Kamu istirahat ajah!”
“Iyah Bu, tapi tolong bawakan aku kertas sama alat
tulis yah Bu,!” pintaku
Entah kenapa aku
meminta kertas dan alat tulis kepada orang tuaku, bukankah aku sedang terbaring
lesu? Aku tidak tahu. Tetapi, ucapan itu dengan spontan keluar dari mulutku. Beberapa saat kemudian ibuku membawa buku
tulis dan bolpoin, setelah memberikannya padaku, ibuku berpamitan akan pulang
dulu ke rumah untuk membawakan baju untuku, sekarang hanya tersisa ayahku yang
menemaniku di rumah sakit yang sekarang entah sedang kemana.
Hujan
diluar semakin deras. Hanya, terlihat secercah cahaya yang sudah bias oleh air
hujan. Namun, kurasa senja ini paling indah yang pernah ada atau mungkin untuk
terakhir kalinya aku melihat hujan disenja hari. aku berusaha menulis surat
untuk Widi. Kurasa tidak akan pernah lagi menikmati raut wajah yang dibalut
dengan jilbab berwarna cerah itu, raut wajah yang selalu menemaniku dalam dunia
nyataku dan dunia ilustrasiku kurasa tidak akan pernah hadir lagi dalam
takdirku.
Untuk Widi,
Terima kasih kamu sudah menemani hidupku yang singkat
ini, meski sekarang aku tidak berada
di sampingmu, aku harap kamu baik-baik saja di sana. Sebelum terlambat, aku
akan jujur kepadamu. Aku pengecut, aku tidak pernah jujur tentang perasaan
sayang padamu. Tetapi, itulah yang kurasakan sampai kematian sudah
terlihat di depan mataku. Aku sayang kamu, Widi
Jangan kau sedih
bila surat ini yang pertama dan terahir kalinya aku berikan kepadamu.Tetapi,
aku selalu berdoa agar aku bisa dipersatukan denganmu. Jika tuhan tidak
mengijinkan kita bersatu di dunia, biarlah. Biarlah kita bersatu
dikehidupan yang kekal.
Yang
menyayangimu
Dian
|
Ada rasa lega setelah menuliskan
perasaan yang selama ini ku pendam, meski hanya dalam secarik kertas, tetapi
kurasa cukup untuk mewakili perasaanku. Tidak ada lagi rasa yang terlewat,
semuanya aku ringkaskan dalam beberapa buah kata. Setelah aku baca beberapa
kali lalu kulipat surat itu, belum sampai tahap akhir melipatnya tiba-tiba
dadaku terasa sesak, kepalaku terasa berat aku merasa dibawa kelorong yang
penuh dengan cahaya. Yang terakhir aku
ingat dan ku ucapkan adalah kalimat Syahadat.
Komentar
Posting Komentar