Diantara pilihan

           
            Angin malam yang begitu terasa menusuk sukma terlebih ada perempuan yang sedang di pikirkanku.  Namanya Raisa dia gadis yang manis, baik, pinter pula semua kelebihan yang dia miliki tak membuat dia sombong. Kayaknya aku sedang jatuh cinta bisik ku dalam hati. Tetapi, aku berusaha memungkiri semuanya. Namun, hatiku masih berkata Iya bahwa aku sedang jatuh cinta kepadanya. Sudah hampir tiga tahun aku dan dia satu kelas, tertawa bareng dan mungkin juga sedih bareng kalo jam pelajaran terakhir gurunya yang nyebelin.
            Tiga tahun aku bersahabat dengan dia, namun aku memiliki perasaan yang lebih dari pada sahabat.  Mungkin, karena persahabatan itu juga aku memilih memendamnya dalam-dalam. Terhitung dari hari ini, aku berada di Sekolah tidak lebih dari dua bulan lagi, selama itu juga aku menikmati kebersamaan dengan Raisa. Aku tidak tahu setelah perpisahaan nanti akan di pisahkan dengan takdir atau di satukan dengan keberaniaan.
            Hal yang paling aku benci dari hidup ini adalah rasa ingin memiliki tetapi tidak di sertai dengan keberanian untuk mengungkapkannya. Lagu Indonesia Jaya yang terdengar dari Spiker Sekolah menandakan akan dimulainya jam pelajaran pertama. Langkahku tergesa-gesa untuk menuju kelas XII IPS 1. Namun, aku sedikit bisa menenangkan hati ketika Raisa masih berjalan di sekitar Gerbang Sekolah, dengan sugesti kuat aku menunggunya di depan kolidor Sekolah,
“Tumben kamu datang sesudah bel,” sahutku membuka pembicaraan
“Iyah, emangnya kenapa?” tanya dia sambil berjalan
“Gak papa. Cuman, kan gak biasanya aja kamu telat”
“Emmm, kamu juga tumben.” Sahut dia
“Tumben apaan?” ucapku penasaran
“Yah, tumben ajah kamu berpakaian rapi” ucap dia sambil di barengi dengan senyum kecilnya
“Iyah dong, kan waktu menjabat sebagai senior sebentar lagi. Jadi harus ngasih contoh yang baik dong, buat adik-adik ” balasku sok bijak dengan tawaan kecil
            Bersahutan mulut dengan dia membuat aku tidak sadar bahwa pintu kelas sudah ada di depan mataku. aku langsung masuk mendahului dia, kemudian dia menyusul di belakangku.  Aku langsung menyimpan rangselku di atas meja jajaran ke dua  dari depan, di sampingku sudah ada Putra teman sebangku.
“Eloh sudah kerjain PR belum?” sahutnya
“PR apaan?” tanyaku mengerutkan dahi
“PR Matematika lah,” tegas Putra
“Aduh, gue lupa, emang kamu sudah?”
“Yah gue sudah,”
“Mana gue lihat?” tanyaku sambil mengeluarkan buku matematika dari rangsel
“Nih.” Ucap dia sambil mengeluarkan buku dari dalam bangku
            Suatu kenangan yang tidak akan bisa di lupakan dari SMA adalah ketika kita bebarengan nyontek sebelum guru pertama hadir di kelas. Terlambat semuanya, Guru pelajaran pertama sudah duduk di kursinya.
“Selamat pagi anak-anak” ucapnya
“Pagi Bu.” Ucap murid kelas XII IPS 1 serentak
“Seperti biasa, yang tidak mengerjakan tugas ambil posisi fuss Up’’ suaranya lantang
            Tanggal 31 Januari 2017 ternyata Dewa keberuntungan tidak memihak kepadaku, aku kira, dia akan lupa sama tugas yang diberikannya. Nyatanya tidak. Itu menandakan kalau aku harus berolahraga pagi dan jumlah fuss up yang harus aku lakukan sesuai dengan tanggal. Sial banget hari ini, hatiku meronta. Seharunya aku lihat dulu kalender di rumah atau di ponsel sehingga kalau melakukan kesalahan tidak pas pada tanggal tua. Huh, untunglah bukan Cuma aku yang kena hukuman ternyata masih banyak para kaum adam yang tidak mengerjakan tugas Matematikanya.
            Dengan satu komando aku dan teman yang tidak mengerjakan tugas mengambil posisi fuss up. Pelan tapi pasti tanganku sudah mulai kebas, bajuku sudah mulai di datangi oleh tamu yaitu keringat. Hitungan sudah sampai pada angka 31. Semua yang dihukum kembali ke bangkunya masing-masing.
            Dua jam pelajaran di isi dengan angka-angka yang tak satupun aku ngerti. Karena itulah aku memilih jurusan IPS. Dulu aku kira kalau memilih jurusan IPS akan terbebas dari jeratan bilangan Matematika, tapi nyatanya tidak.
            Semua jam pelajaran hari ini aku lahap. Hampir murid kelas XII IPS 1 meninggalkan ruangan yang sudah gaduh, yang tersisa hanya aku dan Raisa saja,
“Raisa kenapa kamu belum pulang,?” ucapku tanpa mendekatinya
“Ada sertijab PMR” sahutnya
“Oh, gituh aku duluan yah” ucapku sambil memberskan buku yang tidak beraturan di meja
“Iyah duluan ajah,” ucapnya singkat tanpa mengalihkan tatapanya dari ponsel
“Raisa, hati-hati yah di kelas ini banyak setannya” candaku sambil bergegas pergi meninggalkannya
“Aku tidak percaya hantu tau” terianya
            Bukan aku tidak mau menemaninya diruangan kelas itu bukan juga aku tidak punya waktu untuk menemaninya. Tetapi, takut jika kehadiranku dikehidupannya menjadi sebab dia putus dari pacarnya. Lebih baik menyimpan rapi perasaan dalam arsip memoriku, ketimbang mengeluarkannya dengan tidak pastian yang menyertainya.


Komentar