Kejamnya Jakarta



Semua orang berhak mempunyai mimpi dan cita-cita termasuk aku meski cita-citaku bukan hal yang mudah ku gapai tapi semangat untuk menggapai cita-cita itu tak pernah surut dalam jiwaku, meski rintangan dan hadangan menerpaku.
            Angin pagi menusuk tulangku. Sepatu dalas yang  sudah tiga tahun terakhir melindungi kaki ku dari panas jalanan. Meski sudah tidak sesuai lagi warnanya dengan dulu pas aku beli di pasar. MAN SALOPA itu lah nama sekolahku dan di situ lah cita-citaku ku gantungkan, jarak sekolah dari rumahku kurang lebih tiga kilo meter dengan berjalan kaki kira-kira satu jam setengah.
            Lonceng sekolah yang rutin guru pukul dengan sebilah besi, menandakan masuknya jam pelajaran pertama, sudah menjadi kebiasaanku hampir kesiangan datang ke sekolah di samping jaraknya yang lumayan jauh dari rumahku, dan aku harus mengambil bahan gula aren yang kemarin sorenya aku pasang di pohon aren di area kebun peninggalan kakeku.
            Pulang sekolah aku langsung mampir ke pasar karena ibuku sedang sakit di rumah jadi aku yang mewakili ibuku membeli beras dan keperluan dapur lainya. Keresek plastik putih yang di dalamnya barang belanjaan sudah aku jingjing, hujan keringat yang membasahi seragam putih abu-abuku , setelah aku sadar bahwa jarak rumahku masih jauh aku berhenti dulu di bawah pohon mahoni yang lumayan besar lalu aku membuka tasku dan mengambil buku diary untuk menuliskan ceritaku seakan tuan menceritakan nasibnya sendiri, karena salahsatu cita-citaku yaitu jadi penulis terkenal, bukan tanpa sebab aku mengimpikan cita-cita jadi penulis tapi karena salah satunya aku sangat ngefans banget sama Buya Hamka penulis melayu terkenal. Sesudah keringat yang membasahi seragam putih abu-abuku serasa kering, lalu aku melanjutkan lagi perjalanku ke rumahku. Tak ada satupun teman yang bisa di ajak ngobrol karena tak ada satupun dari kampungku yang melanjutkan ke jenjang MAN rata-rata mereka setelah lulus SMP bahkan SD langsung merantau ke kota untuk menjadi kacung-kacung orang-orang kota.
            Rumah sederhana dengan beralaskan tanah dan beratapkan daun kiray yang di susun secara rapi seakan menyambut tuannya datang. Rumah ini satu-satunya peninggalan ayahku sebelum dia pergi merantau ke Jakarta dan menikah lagi dengan janda kaya. Aku langsung membuka pintu yang lusuh termakan usia lalu aku menyimpan barang belanjaan ke dapur dan setelah tersadar bahwa ibuku belum terlihat tidak seperti biasanya, ibuku selalu menyambutku dengan senyuman khasnya yang membuat rasa cape ku hilang karena dia satu-satunya yang ku punya dalam hidupku saat ini. Aku cari ke luar rumah tidak ada,  aku cari ke kebun juga tidak ada lalu aku memberanikan diri untuk masuk ke kamarya, sebelum-belumnya aku tidak berani masuk ke kamar ibuku tanpa ijin. Syukurlah ibuku mungkin baru solat ashar bisiku dalam hati, tetapi perasaanku tidak enak dan ada yang ganjil dari ibuku, lama ku menunggu duduk di atas risbang tetapi ibuku masih belum kelar juga shalat, perasaan dari tadi sujud terus, aku mulai khawatir dan memberanikan diri untuk memanggilnya “Bu-Ibu” tetapi tidak ada respon sedikitpun dari ibuku setelah itu aku memberanikan diri untuk memegang ibuku dan alangkah terkejutnya setelah aku pegang pundaknya terasa dingin dan kaku, lalu aku semakin keras memanggil ibuku “Ibu-Ibu-Ibu”  dan akhirnya keseimbangan badannya mulai goyah dan terlentang di atas sejadah dengan berbalutkan mukena. Aku sangat terkejut banget ternyata tadi pagi adalah pertemuan terakhirku dengan ibuku.
            Di atas batu nisan ibuku, aku menagis mencurahkan semua isi hatiku. “Emat tahun lalu aku kehilangan bapaku karena merantau dan menikah lagi dengan janda kaya, lalu sekarang ibuku yang pergi, sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi bu” aku seakan berbicara dengan ibuku dan mengadu padanya. Waktu terasa semakin mendekati Adzan Magrib hatiku masih belum menerima kepergian ibuku dan masih ingin menemaninya di atas pusara ini. Tetapi Dian datang dan berusaha membujukku untuk menerima semua ini dengan ikhlas. Dengan sedikit keberatan aku akhirnya mau meninggalkan pusara ibuku, lalu pergi ke rumahku. Suara lantunan ayat suci Al-Quran yang selalu di bacakan ibuku sehabis magrib masih terbayang dalam ingatanku, terlebih dua bulan lagi aku perpisahan di Sekolah, aku sangat sedih sekali karena rencana aku membawa ibuku untuk melihatku membaca puisi perpisahan di depan murid-murid dan walinya, rencana itu gagal.
            Sebulan aku hidup sendiri dan bila ada orang yang datang kerumahku aku lebih memilih untuk pergi begitu saja meninggalkannya, entah setan apa yang membuat aku jadi anti sosial. Teman-temanku di sekolah juga banyak yang heran karena setelah kepergian ibuku aku jarang sekolah. Mungkin sebagian juga ada yang memaklumi itu karena aku harus mengurus kebun peninggalan kekeku dan harus membuat gula aren lalu menjualnya ke pasar untuk  menyambung hidup.
            Dua bulan yang aku tunggu akhirnya datang. Panggung sekolah yang di tata rapi dan kursi yang mulai di padati oleh orang tua murid semakin membuat aku sedih dan teringat pada sosok ibuku. Sempat membayangkan bahwa ibuku duduk manis di bangku paling depan dan menyaksikan anaknya membacakan kata-kata indah mengandung makna di depan semua yang hadir. Tetapi, itu hanya hayalan saja dan tidak akan pernah jadi kenyataan.
            Rapot yang ku bawa pulang dengan hasil yang lumayan memuaskan tetapi aku masih masih ada yang kurang yaitu mengambil rapot tanpa di hadiri ibuku, pelan-pelan aku membiasakan diri untuk hidup serba sendiri tanpa kehadiran ibuku. Sampai suatu hari aku membulatkan niat untuk merantau ke Jakarta dan membereskan rumah karena akan di tinggal pergi oleh pemiliknya, tetapi benda berupa kertas dengan tulisan tangan yang berisikan menyuruh aku untuk pergi menyusul ayah ke Jakarta.
            Aku sampai di Jakarta dengan susah payah  takut ongkos tidak cukup dan takut tersesat karena belum sekalipun anak kampung seperti aku datang ke kota Jakarta yang terkenal dengan kekejamannya. Bus yang aku tumpangi akhirnya berhenti di sebuah terminal. Plang Terminal Rambutan seakan menyambutku di tengah-tengah orang yang lalu lalang menggadaikan dirinya untuk menyambung hidup. Aku tak tahu harus ke arah mana setelah ini, akupun berinisiyatip pergi berjalan kaki ke arah kanan. Menyusuri jalanan yang panas, setelah serasa kaki tidak mampu lagi menopang beban tubuhku. Aku memutuskan untuk berhenti di warung pinggir jalan dan membeli sebotol air mineral lalu meminumnya sebagian. Dengan wajah penasaran bapak-bapak pemilik warung menanyaku “mau ke mana nak..?” seketika itu pula aku langsung menjawab “ gak tahu pak, aku lagi mencari ayahku di Jakarta” sambari menundukan kepala bak prajurit meminta ampun kepada sang raja “Jakarta kan luas emang kamu punya alamat nyah..? si bapak mengkerutkan dahinyah.” Engga sih pak”jawabku singkat.“ emang kamu dari mana nak..? si bapak-bapak tambah serius memandangku. “aku dari Tasikmalaya” semabari menatap wajahnya yang berkerut. “

Komentar