Kopi Penghias Malam



 
Seperti malam-malam sebelumnya, yang menjadi sahabatnya hanyalah sebuah Laptop dan secangkir kopi. Tak ada lagi inspirasi untuk ditulis, dia sudah muak dengan semua penolakan yang dilayangkan penerbit kepadanya. Hampir setiap hari ia menulis cerita, hampir setiap waktu luang ia menyusun cerita lewat buku hariannya. Karena keinginannya untuk menjadi penulis, belum juga terlaksana. Tidak terhitung berapa penerbit yang sudah ia coba, tetapi hanya kata Maaf yang selalu ia terima.
Secangkir kopi yang sudah disiapkan di samping Laptop selalu menjadi penghias setiap malam. Pikirannya sudah tak lagi di kamarnya, tetapi ia sudah melayang mengawang ke dimensi lain. Dimensi yang penuh dengan kenangan bersama Zahra, meski ia sadar bahwa Zahra tak mungkin bisa bersamanya lagi, terlebih Dian sudah berpacaran dengan Widi, gadis yang sama cinta akan dunia sastra. Tetapi saat itu, dia tak peduli lagi dengan ketidak mungkinan, dia masih ingat ketika makan sepiring berdua dengan Zahra dan minum sebotol berdua dengan gadis yang selalu tampil modis itu.
Diminumlah kopi yang ada di samping Laptopnya hingga yang tersisa hanya setengahnya saja. Tak berselang lama ponselnya mengeluarkan suara lagu Nidji yang berjudul Nelangsa, seketika itu juga Dian berusaha mengambil ponsel yang ia simpan di atas kasur. Sudah ia duga bahwa yang menelponnya ialah Widi
“Halo.” Dian membuka pembicaraan
“Iyah Halo,” suara lembut dari ponsel
“Ada apa Wid? “ tanya Dian dengan mengerutkan wajahnya
“Gak ada apa-apa. Tapi rasa kangeunku kepadamu yang menyuruh tanganku untuk mengambil ponsel ini untuk menghubungimu”
“Cie, ada yang lagi kangeun ternyata, aku juga kangeun kamu” jawab Dian dengan senyum-senyum sendiri seperti orang gila
“Cie, yang sama lagi kangeun. Kamu pasti sekarang lagi membuat cerita?” goda Widi dengan cengengesan
“Iyah, ko kamu tahu?”
“Iyah dong. Empp nanti aku telpon lagi yah, takut ganggu yang ingin secepatnya punya buku sendiri” pungkas Widi dengan sedikit tertawa
            Dian tahu bahwa Widi sangat mencintainya, begitu juga dengan Dian. Dalam hati kecilnya, dia sangat mencintai Widi seperti dia mencintai dunia sastra. Tetapi saat ini yang menghiasi otaknya hanyalah Zahra, meski Dian sendiri yang memutuskan untuk menjauhi Zahra dengan alasan hanya ketidak cocokan.
            Suatu ketika Dian bertemu dan berhadapan dengan Zahra di acara seminar, Dian mendadak gugup seperti orang gagu, tak seperti biasanya, kata-kata maaf yang sudah ia susun rapi di otaknya mendadak hilang
“Dian.?” suara gadis itu membuat kaki Dian mendadak gemeteran
“Iyah Zah?” jawab Dian singkat dengan menundukan kepala
“Aku sudah dengar kabar kamu, Yan.”  Zahra memalingkan muka
“Kabar apa Zah?” Dian pura-pura tidak tahu
“Kamu memberikanku harapan Yan, tetapi saat aku mulai menyadarinya, kamu pergi. Sebulan kemudian, kabar kamu sudah jadian dengan gadis lain, sampai ketelingaku. Kau tahu apa yang aku rasakan saat ini Yan.?” Mata gadis itu mulai berkaca-kaca
            Tidak ada kata-kata lagi yang tersusun rapi sekarang, hanya penyesalan dan rasa keinginan untuk kembali yang menyelimuti suasana saat itu, Dian menyadari bahwa kesalahannya sangat besar kepada Zahra, tetapi dia terlanjur mencintai dan menyayangi gadis lain yaitu Widi.
            Kesehariannya kuliah dan menulis sebuah cerita lebih tepatnya penulis amatir senasib dengan Dian, dialah Widi, gadis yang selalu mengepang rambutnya kemanapun dia pergi.  Dia seperti baru menemukan cinta pertamanya meski Dian bukanlah cinta pertamanya. Dian selalu berusaha membuat Widi tersenyum dengan semua guyonannya tetapi takdir mempertemukan Widi dengan Zahra di suatu kafe yang membuat rasa percayanya kepada Dian sedikit pudar
“Sudah lama kamu jadian dengan Dian?” dengan sinis Zahara membuka pembicaraan
“Belum, baru beberapa bulan” jawab Widi gugup
“Emang kamu siapanya Dian? Kayanya tahu banget tentang aku dan Dian,” sambung Widi
“Ohm lupa belum kenalan yah, nama gue Zahra, tapi asal kamu tahu aku orang paling dekat dengan dia” jawab Zahra datar
“Maksud kamu? Pacar?”  Widi semakin penasaran
“Bisa iyah, bisa engga.” jawab Zahra dengan tatapan kosong ke arah parkiran kafe
            Tanpa menghabiskan coklat yang telah dipesan, ia meninggalkan kafe itu dengan menahan bendungan air mata. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Dian. Duapuluh menit berselang, dia baru sampai di halaman rumah yang membuatnya bertanya-tanya.
Ting, tong. Dua kali Widi memijit bell rumah. Beberapa detik berselang pemuda dengan rambut ombak banyu yang selalu berpakaian kemeja membuka pintunya.
“Tumben kamu kesini,” sambut Dian
“Ada yang mesti aku omongin sama kamu”  sambil menahan air matanya yang sedikit lagi akan jatuh
“Iyah, mau ngomong apa.?”
“Siapa gadis yang bernama Zahra itu?” tanpa sadar Widi memegang kedua tangan pemuda itu
            Pemuda itu hanya terdiam, meski pertanyaan gadis itu selalu diulangnya. Tak ada kata yang mampu menjelaskan perasaanya. Dian hanya memeluk gadis itu dan membisikan kata “Aku sayang kamu saat ini Widi, dan aku tidak ingin ada orang lain yang masuk ke dunia kita, soal Zahra aku yang salah, telah membawa dia kekehidupanku, lalu meninggalkannya demi kebahagiaan kita, Maafkan aku Wid.” Gadis itu hanya mengeratkan pelukannya dan menghapus air matanya yang pelan-pelan jatuh ke permukaan baju pemuda itu.


Komentar