Penantian



Karena kita diciptakan untuk bertemu bukan bersama
MAN 7 Tasikmalaya
            Angin pesawahan yang berhembus menyingkabkan kacu merah putih yang tertempel di lehernya, balok bertuliskan laksana, berlambang tunas kelapa menjadi kebanggaannya.  Hari ini adalah hari pelantikannya menjadi penegak Pramuka Laksana, tak bisa dipungkiri bahwa gadis yang selalu tampil ceria itu bisa juga meneteskan air mata ketika diambil sumpah. Suara tepukkan tangan seakan menghapus air matanya, terlebih di pojok lapangan terlihat olehnya seorang lelaki tinggi berhidung mancung, berkulit sawo matang, mengisaratkannya dengan menyodorkan dua ibu jari tangannya lalu menghadiahkannya senyuman.
            Seusai pelantikan Pramuka laksana, semua murid MAN 7 Tasikmalaya mulai masuk ke kelasnya masing-masing, kecuali yang ikut dilantik. Mereka sibuk dengan selvi-selvi dengan baju dan atribut kebanggaannya.
“Zah” suara yang sangat dia kenal membuat gadis itu membalikan badan
 “Iyah, Ada apa Kak?” dengan penuh tatapan Zahra menjawabnya
“Selamat yah, kamu sekarang sudah jadi penegak Pramuka Laksana.” lelaki itu menyodorkan tangannya
“Iyah makasih” senyum yang menghiasi raut wajahnya membuat semua pemempuan iri kepadanya.
Zahra dan Dian sudah menjalin hubungan sebagai teman baik, tepatnya menjalin sebagai senior dan junior di sekolah. Zahra siswi di kelas XI IPA satu, Dian siswa di kelas XII IPS satu. Meski hubungannya tak lebih sebatas senior dan junior, tetapi Zahra dan Dian sudah kenal satu sama lain.
            Setiap kali teringat dengan perempuan itu,  Dian hanya bisa melukiskan isi hatinya pada Ms Word, sejak kenal dengan perempuan itu Dian lebih sering menulis. Dian tidak pernah kehabisan insprirasi untuk ditulis meski tulisannya tak satupun dikirim ke penerbit. Dian lebih suka membaca tulisannya sendiri ketimbang mengirimkan tulisannya pada penerbit.
            Sempat terpikir oleh lelaki itu bahwa sudah beberapa hari ini dia tidak pernah bertemu bertatap muka menikamati raut wajah sederhana yang membuat setiap lelaki terkesima, tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti malaikat suci yang ada di hatinya. Perasaanya kepada Zahra semakin hari semakin tidak menentu, ada semacam perasaan yang sulit diungkapkan, sepintas ada keinginan untuk menjadikan dia pacar tetapi pikiran itu dibuangnya jauh-jauh karena takut akan kehilangan, lelaki itu takut bahwa perasaannya kepada Zahra hanya sebatas cinta SMA. Tetapi lambat-laun setan mendominasi relung pikirannya, dia sangat yakin bahwa perasaan yang dimilikinya bukanlah sekedar cinta SMA.
            Buku-buku yang berjajar rapi di rak seakan menjadi saksi bisu antara Dian dan Zahra, tempat itu selalu menjadi latar pertemuannya, mereka berdua mempunyai hobi yang sama yaitu gila membaca.
“Zah,” suara Dian sedikit berat melapalkan nama itu
“Iyah kak, ada apa?” Zahra memalingkan mukanya dari buku yang dibacanya
“Boleh aku jujur?”
“Iya, boleh lah kak, gagu banget sih gak seperti biasanya.” Zahra sedikit tersenyum
            Bola mata lelaki itu tak henti-hentinya melirik apa-apa yang ada di tempat itu untuk menghindari tatapan serius gadis itu,
“Empp, tempat ini sangat indah yah,” lelaki itu membelokan obrolannya karena rasa takut akan kehilangan kembali muncul serta rasa nerveus mengalahkan semuanya.
Dengan raut muka kebingungan gadis itu berusaha menyamai topik yang dibicarakan Dian.
“Emang iyah, aku suka kesini karena aku rasa tempat ini juga indah menurutku, indah dengan semua buku yang tertata rapi” 

Komentar