Terlihat
silau dari balik kaca helm, rintik-rintik hujan dan gemerlap lampu keemasan
dari bangunan sepanjang jalan Siliwangi, aku parkirkan motor di depan kedai
kopi sebrang kampus Universitas Siliwangi. Tempat ngopi favorit dan tempat
ketemuan antara aku dan Widi.
Aku janjian dengan Widi untuk
bertemu. Tidak seperti biasanya, baru beberapa menit kopi pun belum sampai di
meja namun Widi menghubungi bahwa dia sudah menunggu di gerbang utama kampus.
Aku menyebrang membelah jalan yang basah habis di guyur hujan, diujung
penglihatanku dua orang gadis berdiri.
Aku melangkah dengan agak cepat
menuju dua gadis itu, aku agak gerogi entah kenapa, mungkin karena pertemuan
waktu itu permintaan aku yang di kabulkannya setelah puluhan kali meminta. Aku
tidak mau menyianyiakan kesempatan waktu itu, karena mungkin satu-satunya
kesempatan untuk bertemu kembali dengan Widi, setelah hampir satu tahun Widi menghidar
dari hidupku.
Aku mempersiapkan waktu itu sudah
jauh-jauh hari, mendesain kelender bertemakan potret kenangan aku dan Widi,
mencetaknya sehingga jadilah sebuah kalender yang mungkin orang lain akan
bilang norak. Memang aku tidak biasa memberi seseorang dengan gelimang harta
karena aku lahir dari keluarga yang biasa saja, sehingga aku sendiri yang mendesain
dan mencetaknya.
Aku sudah berhadapan dengan Widi, tatap
matanya masih ayu. Meski aku tahu, sekarang bukan aku yang mengisi pandangnya.
“Maaf,
aku sudah beberpa kali meminta ketemu kamu” Aku membuka pembicaraan dengan nada
yang agak terputus-putus. Mungkin sudah mengerti gadis yang menemaninya pun agak
menjauh dari posisi kami berdua ia hanya sibuk dengan ponselnya
“Iyah
gak papa, “ Jawab Widi singkat
“Kamu
mau ngapain.?” Sambungnya
“Gak
ngapa-ngapain” Jawabku
“Terus
kamu ngajak aku ketemu untuk apa?” Tindas Widi
“Aku
cuma mau ngasih ini sama kamu, angap sajah ini kenang-kenangan dari aku, pernah
ada selama dua tahun menemanimu” Balas aku dengan mengeluarkan sesuatu dari
rangsel.
“Jangan
di buka disini,” Sambung aku
“Iyah
makasih” Jawab Widi singkat
Widi meminta pamit pergi, aku tidak
bisa menolaknya. Aku tahu, Widi sudah tidak nyaman bertemu denganku waktu itu,
dan juga aku rasa tidak baik menahan Widi begitu lama meski mata masih ingin
melihatnya lebih lama.
Aku memegang tangan Widi agak begitu
lama, karena aku rasa tidak akan ada lagi kesempatan selain itu, tatapanku
masih tertuju padanya , menikmati raut wajahnya, mengumpulkan semua kenangan
yang pernah ada, hingga pada saatnya Widi melepaskan tanganku lalu pergi.
Aku melangkah kembali ke kedai sebrang
kampus, langkahku gontai, ada harapan yang hilang, dan semua kenangan yang
mungkin dia lupa dan aku luka. Tentang senja yang telah berlalu dan malam
dipenghujung 2018 masih menjadi mesteri dalam hidupku. Apakah aku akan kembali
berharap kepada Widi yang sudah mendapat tempat rindu yang baru
atau aku mencari rindu yang lain dan
meninggalkan widi bersama kenangan yang pernah ku bingaki indah lalu dia tinggalkan
begitu saja.
Baca Juga...!!
- Kenyataan yang Kadang Ku Tolak
Baca Juga...!!
- Kenyataan yang Kadang Ku Tolak
- 10
Desember 2018
Komentar
Posting Komentar